Digitalisasi Organisasi Sosial Asia Terancam Serangan Siber
Jakarta – Riset Doing Good Index (DGI) 2024 mencatat pesatnya digitalisasi dalam organisasi sosial di Asia, termasuk Indonesia. Namun, hal ini juga memicu kekhawatiran akan meningkatnya kerentanan terhadap serangan siber.
Dari 2.183 organisasi yang disurvei, 66% mengaku pernah menjadi korban serangan siber. Faktor ini dinilai semakin mengkhawatirkan karena hanya 31% organisasi yang memiliki rencana keamanan siber yang memadai.
Peneliti Public Interest Research and Advocacy Center (PIRAC), Hamid Abidin, menyoroti bahwa kesadaran terhadap keamanan siber masih rendah di kalangan pengurus dan staf organisasi sosial. Minimnya alokasi sumber daya untuk mengantisipasi hal ini memperburuk situasi.
“Padahal, serangan siber sudah sering terjadi, namun organisasi sosial masih pasif dan pasrah,” ujar Hamid.
DGI 2024 mengidentifikasi tiga tantangan utama yang dihadapi organisasi sosial dalam menghadapi serangan siber, yaitu keterbatasan dana (71%), rendahnya keahlian staf (57%), dan minimnya dukungan dari donatur (51%).
Hamid menekankan pentingnya kesadaran dan dukungan dari berbagai pihak untuk mengatasi tantangan ini. Bantuan dalam bentuk perangkat keras, perangkat lunak, peningkatan kapasitas staf, dan konektivitas internet sangat dibutuhkan.
Sementara itu, Direktur Penelitian Centre for Asian Philanthropy and Society (CAPS), Annelotte Walsh, mengungkap bahwa 95% organisasi sosial di Asia telah memanfaatkan teknologi digital untuk melayani masyarakat.
“Namun, kekurangan sumber daya dan investasi menjadi penghambat,” kata Annelotte.
Dia menambahkan, hampir separuh organisasi melaporkan tidak mendapatkan pendanaan dari donor untuk mengembangkan teknologi digital. Padahal, dukungan tersebut sangat krusial dalam merespons perubahan lanskap digital yang pesat.
Digitalisasi Sektor Sosial di Indonesia
Di Indonesia, sektor sosial juga mengalami digitalisasi yang signifikan. Sebanyak 75% organisasi memiliki akses internet yang andal, dan 69% menggunakan perangkat komputer atau tablet.
Organisasi sosial juga banyak memanfaatkan media sosial (94%), website (74%), dan buletin digital (53%) untuk mempromosikan profil dan kegiatan mereka. Selain itu, 55% organisasi menggunakan teknologi digital untuk memberikan layanan secara online.
Namun, Hamid Abidin menyoroti bahwa sebagian besar organisasi (98%) masih menggunakan perangkat lunak dasar. Hanya 43% yang menggunakan perangkat lunak canggih.
Kebijakan Usang Menghambat Digitalisasi
Koordinator Aliansi Filantropi untuk Akuntabilitas Sumbangan, Riza Imaduddin Abdali, menyoroti beberapa kebijakan yang usang dan tidak merespons perkembangan digitalisasi sektor sosial, khususnya dalam hal penggalangan donasi.
“Regulasi yang ada saat ini, seperti UU Nomor 9 tahun 1961 tentang Pengumpulan Uang atau Barang, sudah tidak relevan dan menghambat pengembangan filantropi digital,” ujar Riza.
Dia mendesak pemerintah untuk merevisi regulasi tersebut agar sektor filantropi dapat berkembang dan merespons berbagai tantangan, termasuk ancaman serangan siber.