Opini : Candra Irawan. S.,S.IP
Bentengpos.id — Pemalsuan surat domisili sebagai pengantar pembuatan KTP merupakan sebuah pelanggaran hukum yang serius dan dapat dianggap sebagai tindak pidana dengan konsekuensi hukum yang tidak ringan.
Dalam konteks hukum Indonesia, tindakan ini tidak hanya merugikan pihak yang terlibat langsung dalam pemalsuan, tetapi juga dapat merusak sistem administrasi kependudukan yang berfungsi sebagai dasar pelayanan publik dan pengelolaan data negara.
Oleh karena itu, penting untuk menyoroti konsekuensi hukum dari pemalsuan dokumen seperti surat domisili dan pentingnya penegakan hukum untuk menjaga keabsahan administrasi kependudukan.
Surat keterangan domisili adalah dokumen yang diterbitkan oleh pihak berwenang yang menyatakan bahwa seseorang benar-benar tinggal di suatu wilayah.
Surat ini sering kali digunakan sebagai syarat dalam proses pembuatan KTP, yang merupakan dokumen identitas resmi bagi setiap warga negara Indonesia.
Dengan demikian, surat domisili yang valid sangat penting untuk memastikan keabsahan data pribadi dalam KTP.
Namun, jika surat domisili dipalsukan dengan cara mengubah data atau membuat keterangan palsu, tindakan ini melanggar sejumlah aturan hukum, baik yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) maupun dalam Undang-Undang Administrasi Kependudukan.
Pemalsuan dokumen ini bisa dilakukan dengan berbagai cara, mulai dari manipulasi alamat tempat tinggal, mencatut nama orang lain, atau bahkan dengan mengajukan informasi yang tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya.
Berdasarkan Pasal 263 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), pemalsuan dokumen merupakan tindakan pidana yang dapat dikenakan sanksi hukum berat.
Pasal ini mengatur tentang pemalsuan surat atau dokumen yang digunakan untuk memperoleh keuntungan atau merugikan pihak lain dengan cara yang tidak sah.
Pemalsuan surat keterangan domisili sebagai pengantar KTP jelas termasuk dalam kategori ini, karena dapat digunakan untuk memperoleh dokumen identitas secara ilegal.
Pasal 263 ayat (1) KUHP menyebutkan: “Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang seolah-olah dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang atau oleh orang yang berwenang, dapat dihukum penjara.”
Pelaku pemalsuan surat domisili bisa diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun.
Selain itu, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan juga mengatur tentang sanksi terhadap penyalahgunaan dokumen administrasi kependudukan.
Pasal 72 menyatakan bahwa pemalsuan atau penyalahgunaan dokumen kependudukan, termasuk surat keterangan domisili, dapat dikenakan sanksi pidana sesuai ketentuan yang berlaku.
Hal ini menambah bobot keseriusan tindak pidana ini dan memperlihatkan bagaimana pemerintah sangat mengutamakan integritas data kependudukan dalam administrasi negara.
Pemalsuan surat domisili untuk kepentingan pembuatan KTP membawa dampak yang sangat besar bagi sistem administrasi kependudukan negara.
KTP adalah alat identitas yang sangat penting, digunakan untuk berbagai keperluan, mulai dari memilih dalam pemilu hingga mengakses layanan publik.
Jika dokumen tersebut diperoleh melalui pemalsuan, maka potensi penyalahgunaan identitas menjadi sangat besar, dan sistem administrasi negara dapat terganggu.
Di samping itu, pemalsuan surat domisili juga bisa berimbas pada kebijakan pemerintah dalam penyaluran bantuan sosial, pendidikan, atau kesehatan yang seharusnya diperuntukkan bagi warga yang benar-benar memenuhi syarat.
Tindakan ini tidak hanya merugikan masyarakat yang berhak mendapatkan fasilitas tersebut, tetapi juga menimbulkan ketidakadilan dalam distribusi sumber daya negara.
Untuk mencegah semakin maraknya pemalsuan surat domisili dan dokumen kependudukan lainnya, pemerintah harus memperkuat pengawasan dan penegakan hukum terhadap proses administrasi kependudukan.
Pihak berwenang yang mengeluarkan dokumen seperti surat domisili harus lebih ketat dalam memverifikasi keabsahan data yang diterima.
Teknologi digital juga bisa dimanfaatkan untuk memastikan data yang masuk sudah valid dan dapat dipertanggungjawabkan.
Selain itu, peran masyarakat juga sangat penting dalam melaporkan tindakan pemalsuan yang terjadi di sekitar mereka.
Kesadaran publik mengenai pentingnya integritas data kependudukan dan dampak buruk dari pemalsuan dokumen perlu ditingkatkan agar masyarakat tidak terjerumus dalam praktik ilegal ini.
Pemalsuan surat domisili sebagai pengantar KTP adalah tindak pidana yang merusak integritas administrasi negara dan kepercayaan publik terhadap sistem kependudukan.
Tindakan ini harus ditindak tegas dengan sanksi hukum yang jelas sesuai dengan ketentuan yang berlaku, baik melalui KUHP maupun Undang-Undang Administrasi Kependudukan.
Pemerintah dan aparat penegak hukum harus bekerjasama untuk mengatasi masalah ini, guna menjaga keberlanjutan sistem administrasi negara yang transparan dan sah.
Ke depannya, diperlukan perhatian lebih agar masyarakat tidak tergoda untuk melakukan pelanggaran yang merugikan diri mereka sendiri dan negara.