Bentengpos.id — Sejak lahirnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, dua asas utama yang menjadi roh dari UU ini adalah asas rekognisi dan subsidiaritas.
Kedua asas ini sejatinya tidak hanya menjadi dasar hukum, tetapi juga menjadi pijakan filosofis dalam pengelolaan dan pembangunan desa secara mandiri.
Asas rekognisi berarti negara mengakui hak asal-usul desa. Ini merupakan bentuk penghormatan terhadap sejarah, budaya, dan kearifan lokal yang telah hidup jauh sebelum negara ini berdiri.
Sedangkan asas subsidiaritas adalah kepercayaan negara terhadap kemampuan desa dalam mengelola kewenangan lokal dan mengambil keputusan secara mandiri untuk kesejahteraan warganya.
Dua asas ini memberi mandat kuat kepada desa untuk menyusun arah kebijakannya sendiri. Desa diberi ruang luas untuk mengenali potensi, masalah, dan solusi mereka sendiri.
Pemerintah pusat hanya hadir sebagai fasilitator dan pendukung, bukan pengatur utama.
Namun, kenyataan di lapangan justru menunjukkan gejala yang sebaliknya. Tahun 2025 ini, dua kebijakan dari pemerintah pusat menjadi batu sandungan bagi desa dalam menyusun pembangunan berbasis asas rekognisi.
Kebijakan pertama hadir di awal tahun, ketika rencana pembangunan desa yang telah dirancang melalui Musyawarah Desa sebagai bentuk partisipasi dan keputusan lokal harus dibatalkan dan diubah demi mengakomodasi instruksi Kementerian Desa terkait ketahanan pangan.
Ini memaksa desa untuk melakukan perubahan RKP dan APBDes secara mendadak.
Belum tuntas dengan perubahan pertama, muncul lagi kebijakan kedua: Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2025 tentang pembentukan Koperasi Desa Merah Putih.
Kembali desa dihadapkan pada perubahan rencana kerja dan anggaran yang telah disusun ulang.
Surat Edaran Kementerian Desa yang menyusul kemudian memaksa desa untuk kembali melakukan revisi RKP dan APBDes untuk yang kedua kalinya di tahun yang sama.
Pertanyaannya, apakah model top-down seperti ini masih sejalan dengan semangat UU Desa? Apakah asas rekognisi dan subsidiaritas masih menjadi ruh dalam pengambilan kebijakan nasional? Ketika keputusan strategis tentang arah pembangunan desa datang dari pusat tanpa dialog dan waktu adaptasi, lalu di mana letak kedaulatan desa?
Dampaknya jelas, bukan hanya pada perubahan administratif yang melelahkan, tapi juga terhadap kualitas tata kelola pemerintahan desa. Desa jadi sibuk menyesuaikan, bukan membangun.
Pemerintah desa yang saat ini juga tengah menunggu kepastian perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2019 pun dibuat bimbang: apakah akan ada ruang yang lebih longgar bagi desa, atau justru semakin ketat?
Semoga perubahan peraturan itu kelak menjadi kado terindah bagi desa bukan hanya secara administratif, tetapi juga secara substansial.
Kado berupa penguatan kembali atas asas rekognisi dan subsidiaritas, sehingga desa benar-benar kembali menjadi subjek pembangunan, bukan sekadar objek dari keputusan pusat.
Opini oleh : Candra Irawan, S., S.IP Pemuda Kabupaten Bengkulu Tengah