Perkuat Peran DPD: Menuju Lembaga Pembuat Kebijakan yang Berwibawa

Transformasi DPD: Ruang Parlemen untuk Perkuat Keputusan Daerah

Parlemen Indonesia: Memperkuat DPD untuk Konsolidasi Demokrasi

Jakarta – Pasca-amendemen UUD 1945, transformasi parlemen Indonesia belum sepenuhnya mendorong konsolidasi demokrasi. Hal ini terlihat dari penurunan indeks demokrasi Indonesia, dari 62 poin pada 2019 menjadi 53 poin pada 2023, menurut Freedom House. Transformasi ini juga menyebabkan sistem politik Indonesia menjadi “executive heavy” dengan kekuasaan yang terpusat pada Presiden.

DPD (Dewan Perwakilan Daerah), sebagai kamar kedua dalam parlemen, diharapkan memainkan peran penting dalam menyeimbangkan kekuasaan dan memastikan keterwakilan daerah. Namun, kewenangan DPD masih terbatas, sebagaimana tercantum dalam UUD hasil amendemen.

Prof. Valina Singka Subekti, dalam bukunya “Dinamika Konsolidasi Demokrasi,” menyoroti adanya kesenjangan kewenangan antara DPR dan DPD. DPD hanya berwenang mengusulkan RUU terkait otonomi daerah dan membahasnya di tingkat satu, tanpa memiliki kewenangan legislasi penuh.

Kondisi ini kontradiktif dengan semangat desentralisasi kekuasaan dan konsolidasi demokrasi. Idealnya, kewenangan DPD harus optimal untuk mendukung otonomi daerah dan konsolidasi demokrasi.

Untuk memperkuat DPD, Wakil Ketua DPD RI, Sultan B. Najamuddin, mengusulkan beberapa langkah, antara lain:

* Membangun paradigma MPR sebagai rumah bersama DPR dan DPD, menghilangkan ego sektoral dan segregasi politik.
* Memperkuat hubungan dan komunikasi dengan DPR, khususnya dengan ketua umum partai politik.
* Menambahkan kewenangan MPR dalam menetapkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) yang dirancang berdasarkan Pancasila.
* Merevisi UU MD3 dan UU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan untuk memberikan kewenangan legislasi kepada DPD.
* Menambahkan ketentuan dalam konstitusi bahwa “DPD memegang kekuasaan membentuk UU.”

Dengan penguatan kewenangan DPD, diharapkan konsolidasi demokrasi dapat lebih terwujud di Indonesia, terutama dalam konteks desentralisasi kekuasaan dan otonomi daerah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *